Kamis, 25 Juni 2009

Ritual keluarga

Aku adalah anak paling kecil dalam keluarga. Satu2nya perempuan. Kami dididik dalam suasana yang bisa dibilang penuh perdiskusian. Ibuku bekerja di perusahaan penerbangan nasional. Bisa dibilang kami berada di kelas ekonomi pas-pasan.
Setiap bulan, sehabis beliau gajian, maka ia akan membawakan kami bihun goreng. Hanya setiap beliau habis gajian. Sementara ayahku yang bekerja di perusahaan baja di cilegon, pulang ke jalarta setiap hari Jum’at dan kembali lagi hari minggu.
Maka hari Sabtu ia akan mengajak kami ketoko buku di daerah kwitang.
Ritual yang sangat berkesan hingga kami besar kini. Tidak ada beli baju.
Tapi untuk buku, untuk ilmu, orangtuaku rela jungkir balik bekerja.
Masing-masing kami dijatah langganan satu majalah. Abangku yang paling besar langganan Majalah Hai, abangku yang kedua, langganan majalah EPPO, sementara aku langganan BOBO. Tapi kami juga diberi bonus buku cerita Tintin setiap ada edisi baru, dan majalah kecil bernama Pustaka Dasar (seperti ensiklopedia untuk anak2).

Begitulah. Pengalaman dan memori itu membekas sekali buat kami. Hidup yang kujalani sekarang juga dengan keadaan ekonomi yang hampir sama. Ingin rasanya mengulang ritual yang berkesan itu. Namun kadang, kami terbawa emosi juga, menuruti permintaan anak-anak yang ingin dibelikan mainan atau yang lain. Makan di restoran, atau apalah.

Dan ibuku yang sekarang berumur 74 selalu menjadi alarm buat kami. Terutama buat ku. Jangan berlebihan. Buat anak-anak ”gurame balado” ibu paling istimewa, telur balado dan sop tulang tidak ada tandingannya. Itu yang akan mereka ingat. Perhatian dan pengalaman berbagi bersama anak-anaklah yang akan menjadi bekal hidup buat mereka.

Iya juga, memang begitu yang sebenarnya. Masak dengan cinta beda rasanya dengan masakan restoran yang harganya selangit sekalipun.

Sentuhan pribadi dari orangtua pada anaknya pasti akan menjadi memori kuat buat mereka kelak...

Rabu, 24 Juni 2009

Berkhidmat hanya pada Allah

Bagaimana hubungan pasangan suami istri itu bisa bertahan sekian lama? 10 tahun, 20 tahun, bahkan 50 tahun dan tetap setia walau maut memisahkan keduanya?

Perjalanan pernikahan yang disaksikan keluarga dan seluruh malaikat ikut memanjatkan doa, langit Allah terbuka dan doa yang dipanjatkan terdengar langsung. Begitu besar episode itu bagi manusia.

Tapi, berjalannya waktu, perjalanan itu kadang tidak sempurna. Pertengkaran atau kesalah pahaman pasti terjadi menjadi bagian dari mencari persesuaian kebersamaan. Tapi tiap maaf atau pelukan tanda usai pertengakaran mereka pasti berharap tidak ada pengulangan kesalahan yang sama. Betul kan? Perasaan bahwa hanya keledai yang melakukan kesalahan berulang-ulang, dan kita bukan keledai. Tapi pengharapan itu tampaknya sejauh ini memang cuma pengharapan. Diam dan diam menjadi jalan keluar yang sangat tidak diharapkan. Apa dan mengapa harus diam? Sementara kita dua orang yang saling sayang, pastinya siap diajak bicara kan? Kecuali kita memang sudah saling benci, jadi percuma diajak bicara.

Sekali, dua kali masih bisa tersenyum. Tapi rasanya kok jadi biasa ya? Tidak ada pembelajaran. Atau memang perlu reward and punisment dalam diterapkan diantara pasangan?
Tiap kali kejadian itu datang, maka kita sebagai manusia semakin yakin bahwa, ”jangan bergantung pada manusia, pun ia suami, karena ia manusia juga. Punya alpa dan salah” Kadangkala menjadi bagian berkhidmat, mengabdi, membuat kita menerima bulat-bulat apa yang dilakukan pasangan.

mengabdilah hanya pada Allah. Maka tiap kali senyum dan peluk tanda damai itu ditawarkan, Insya Allah mari kita sambut. Karena Allah memang menyerukan untuk menerima maaf orang kan?? Tapi kadang pertanyaan lain juga muncul, lalu kalau begitu, dia tidak mendapat pelajaran, kok seenak-enaknya aja?
Tapi ibuku yang baik hati mengatakan, urusan Allah merubah hati manusia. Manusia ini mahluk ciptaanNya, jadi Dia yang paling tahu bagaimana mengatur mahluknya. Yang aku harus lakukan adalah bersabar, ini mungkin bagian dari cobaan atau ujian atau hukuman yang bisa jadi juga sedang menimpa kita. Apa iya kita yakin kalau kita mahluk yang sempurna? Bersikaplah dengan sifat-sifat Allah, hanya itu yang harus kita lakukan. Betul-betul pencerahan di subuh ini. Tapi... tapi... tapi....
Hati ini rasanya masih dipenuhi ketidak puasan. Sesak dada ini rasanya. Tapi memang begitulah Allah mengatur hidup kita. Kita akan membawa diri masing-masing di akhirat kelak, maka persiapkanlah diri kita. Perbaikilah diri kita. Karena kita akan dimintakan pertanggung jawaban kelak. Jangan sampai pertanyaan ”Mengapa kamu cerewet sekali untuk manusia, sementara kamu alpa akan dirimu sendiri ” Nah lho....

Kamis, 04 Juni 2009

Suamiku Hipertiroid

Suamiku tersayang, setelah pulang dari berhaji terasa begitu banyak perubahan. Dari fisik, ia sekarang menjadi semakin kurus. Lebih pendiam. Dan dari wajahnya lebih banyak yang tampak ia pikirkan.

Berjalan waktu, tak terasa sudah hampir 3 bulan ia pulang. Perubahan itu semakin terasa saja. Dari emosi juga menjadi lebih ‘peka’. Ingin lebih diperhatikan dan disayang. Itu memang kewajiban seorang istri yang juga menjadi pasangan hidupnya kan??
Sampai terasa di bulan 4 ia mengutarakan kalau aku rasanya semakin ’jauh’ darinya. Tercenung aku mendengarnya. Apa yang terjadi diantara kita? Benarkah kita semakin menjauh? Tapi rasanya di hati ini sama sekali tidak ada rasa jauh itu. Dari kesibukan, ku akui mmg aku menjadi lebih sibuk. Tapi kesibukan itu membuat Omei merasa aku jauh sekali darinya.

Kita mencoba bicara, bicara atas nama cinta. Bukan bicara atas nama menang atau kalah, puas atau tidak puas. Tapi semua untuk kebaikan semua.
Pembicaraan yang diakhiri dengan pelukan yang tulus dan terasa bahwa kami memang saling menyayangi.

Kupikir setelah pembicaraan itu, emosinya akan lebih baik, berat badannya juga akan bertambah lagi (sejujurnya aku suka saat Omei gemuk...). Tapi ini tidak terjadi. Berat badannya terus menurun, matanya mulai cekung. Senyumnya sumbang rasanya, walau maksudnya tidak ingin begitu. Semakin aku mendekat padanya. Kupandangi ia kalau sedang tidur, kubelai wajahnyanya, kadang dengan air mata . Terasa bahwa ini adalah saat janji suci pernikahan itu diuji, susah dan senang dilalui bersama.

Dan masuk bulan kelima, saat usia pernikahan kami masuk 9 tahun, Diatas janji akan lebih baik lagi. Omei malah sakit. Ia buang air besar terus, cair. Satu hari bisa lebih dari 5 kali. Nafsu makannya berkurang. Kurayu ia untuk memikirkan makanan yang enak yang paling ia suka untuk membangkitkan seleranya, dan sudah ia sebut dan kita kunjungi tempat itu. Tapi Cuma satu dua suap, sehabis itu ia merasa tidak selera kembali.

Semua orang yang kenal dengan Omei menyatakan keprihatinannya. Dua minggu lebih buang air itu terus berlangsung. Bukan tidak kedokter, tapi tetap tidak ada perubahan. Sampai bapak2 ojek langganan kami yang juga prihatin datang kerumah dan membawa daun jambu biji yang memang berkhasiat memampatkan. Dan itu membuat omei dan aku terharu. Betapa banyak orang yang memperhatikan dan menyayangi kami. Kakak-kakak semua, tetangga juga ikut prihatin.

Sampai minggu lalu, aku berniat membawa Omei check up ke Internist dan memeriksa urin, faeces, dan darahnya ke Laboratorium. Omei juga semangat untuk berobat.
Sebelum ke Internist, Omei paginya sudah cek Lab. Dan dapat hasilnya. Gulanya memang sedikit tinggi. Apakah karena itu berat badannya turun terus? Berbagai pertanyaan melintas di kepala.

Sorenya aku dan Omei pergi juga ke Internist. Dokter Sumaryono. Dia adalah dokter yang merawat ibuku. Aku merasa ia dokter yang bisa kupercaya, bukan dokter yang semata-mata jualan obat dan peralatan rumah sakit.

Pasien No. 4. Sebelum masuk, Tensi Omei diukur, dan hasilnya 150/90. Tinggi. Tapi memang dari dulu tensinya tinggi. Kami pikir karena di keluarga memang ada turunan darah tinggi. Sampai diruang dokter. Baru duduk. Dokter sudah minta Omei untuk tengadah. Baru ia bertanya ada keluhan apa.
”Saya buang air sudah lebih dari 2 minggu, dok”
”Berat badan turun terus, drastis?” dokter bertanya
”Iya dok” aku kali ini yang menjawab.
”Ok. Secara kasat mata saya bisa bilang ini hipertiroid. Makanya tadi saya minta tengadah. Coba tengannya didepan, dua-duanya” Dokter cepat menjawab.
Omei menurut dan memajukan tangannya. Sedikit gemetar. Dokter kemudian meminta Omei untuk ke tempat tidur. Diperiksa lagi tensinya, jantung yang berdebar sangat cepat juga ia rasakan. Sering berkeringat. Omei memang sering berkeringat. Kupikir tadinya karena ia gemuk jadi mudah berkeringat, tapi setelah kurus ini baru kusadari kok tetap berkeringat juga ya...

Walaupun harus cek Lab dulu, tapi dari semua gejala ia yakin Omei hampir pasti, 99% Omei mengidap hipertiroid. Aku dan Omei, cuma bisa bengong? Apa itu Hipertiroid? Ternyata ia adalah penyakit yang membuat tubuh bekerja terus menerus. Hormon tiroid harusnya dikeluarkan setelah otak menyuruhnya untuk bekerja. Tapi Hormon ini malah terus bekerja walaupun tidak disuruh oleh otak. Istilahnya berkhianat. Makanya Omei berkeringat terus, buang air terus, walaupun makan banyak tidak akan menambah berat badan, jantung yang kencang dan tensi yang tinggi. Mungkin ini juga jadi berpengaruh terhadap emosinya ya?

Dokter memberikan surat pengantar untuk Lab. Mengecek jantung, paru dan kadar FT4 dan TSHs nya. Karena di Rumah Sakit itu hasilnya agak sedikit lama, maka dokter justru menyarankan untuk ke Laboratorium lainya, yang bisa dalam sehari keluar hasilnya. Sementara itu, Omei diberikan obat untuk mengontrol kadar tiroidnya.

Subhanallah. Ujian ini begitu tak terbayangkan. Ujian ke ikhlasan, ujian untuk kami bisa lebih dekat pada Allah. Sekarang, setiap sholat aku jadikan sebagai wujud rasa syukur atas apa yang Allah sudah berikan pada kui. Bagaimana tidak bersyukur? Ternyata aku, tahu bahwa aku diberi amanah yang tidak main-main untuk menjaga keluarga ini. Bahwa ternyata kami diperhatikan dan disayang banyak orang. Bahwa dengan tahunya penyakit ini, ternyata apa-apa yang Omei alami selama ini terjawab bahwa itu memang ada sebabnya. Dan Insya Allah ada obatnya.

Mohon doanya ya...