Selasa, 16 Desember 2008

Siapa kita sebenarnya?

Begini ceritanya. Aku punya teman lama, saat kita masih sekolah dulu. Kami satu angkatan namun berbeda kelas awalnya, setelah penjurusan, kami menjadi satu kelas. Entah ini menjadi suatu kelebihan ataupun justru menjadi peringatan untukku, aku senang mengamati tingkah laku orang. Bakat ini aku asah dari kecil. Karenanya sebenarnya cita-citaku harusnya menjadi pengamat sosial ya.. Sosiolog lah seperti Imam Prasojo.. ceile...

Nah, salah satu yang aku perhatikan adalah temanku ini. Sebut saja N. Dia ini sangat-sangatlah aktif, ikut diberbagai kegiatan siswa, menjadi panitia ini dan itu. Tidak terlalu menyita perhatianku, sampai kami terlibat dalam satu kepanitiaann penyambutan siswa baru. Ternyata N ini sedikit mengganggu dengan gaya dan celetukannya, mungkin dengan maksud hanya bercanda, tapi setiap saat pasti dia ikut ”menyela” teman yang lain dan menganggap bahwa ”celaannya” itu lucu. Begitu selalu. Dan memang beberapa teman menganggap bahwa sikapnya itu lama-kelamaan menjadi menyebalkan. Tapi dilain pihak mereka juga tidak ambil pusing untuk bisa memberi pikiran dan nasehat baik agar N tidak begitu.

Singkat cerita, kami sama-sama lulus dan tidak pernah bertemu atau berkomunikasi lagi. Sampai beberapa waktu yang lalu, dalam jejaring pertemanan di Internet saya bisa berkomunikasi dengan teman-teman lama kembali. Sampai suatu ketika, ada seorang teman yang ditimpa musibah, dan menceritakannya di Internet, justru N lah yang bisa memberikan kata-kata bijaksana. Tercenung sedikit aku. Banyak yang berubah sepertinya dari N ini. Begitulah, setiap ada teman yang berbagi, si N ini akan memberikan kata-kata positif.

Dalam suatu kesempatan, kutanyakan keherananku atas perubahan sikapnya. Dan dia menyebut satu tempat dan satu waktu yang membuat dia mengalami ”turning point”. Aku belum sempat bertanya lebih lanjut bagaimana prosesnya, takut juga dia tidak ingin berbagi.

Sampai dia membuat suatu cacatan kecil, yang intinya, bagaimana seseorang itu diciptakan, tergantung siapa penciptanya, yang nota bene adalah Allah. Manusia tidak berhak menilai seseorang. Karena hanya sang Penciptalah yang tahu akan seperti apa mahluk ciptaannya.

Mengusik betul catatan kecil itu. Ya memang hanya Allah lah yang tahu seperti apa hati hambanya, mahluk ciptaannya. Tapi Allah juga yang meminta kita untuk menyebar di muka bumi untuk bertakwa dan membawa kebaikan bagi sesama. Setiap permulaan manusia yang diciptakan, pasti fitrah dan bersih. Tapi bagaimana kita mengisi hari-hari di dunia itulah yang akan dimintai pertanggungan jawab kelak. Rabbana tangan kami, Rabbana kaki kami, Rabbana mulut kami, mata kami, telinga kami, mata hati kami. Kemana kaki ini melangkah, tangan ini bergerak, mata ini melihat, telinga ini apakah untuk kebaikan? Itulah Allah menciptakan hidayah. Setiap manusia di bumi pada akhirnya memang mencari-cari nilai yang paling hakiki dalam hidup yaitu Ridha Illahi. Dan Hidayah itu harus dicari, bukan hanya menunggu. Jadi bukan menunggu saja hingga Allah itu memberikan Hidayah pada kita, dan kalau tidak diberi maka' kita pasrah aja. Harus ada ikhtiar dari kita.

Dan itulah kehebatan Allah, dia bisa membuat hidup manusia menjadi lebih baik dari proses yang ”lembut” mencari jati diri itu. Tahun Baru Hijriah harusnya bisa menjadi momentum kita untuk menjadi lebih baik. Hijrah menuju kebaikan.

Dan, Insya Allah, temanku, N, sudah menemukannya.

Mohon maaf lahir bathin

1 komentar:

  1. betul Dam.aku jg punya byk teman yg dulunya preman skrg malah aku yg byk blajar darinya. mudah2n kita slalu menemukan hidayah2 kita.amin

    BalasHapus